Ibu muda itu terkulai lemah di pembaringan rumah sakit yang kaku dan
berkasur tipis. Wajahnya yang pucat tertutupi sebagian oleh rambutnya
yang terurai. Tetap saja, itu tidak sanggup menyembunyikan kesedihannya
yang mendalam.
Ekspresi sedih, marah, jijik dan murka terpancar dari wajah Feng Jianmei yang malang. Betapa tidak, disampingnya dibaringkan si jabang bayi yang telah menjadi mayat; merah, telanjang, masih menempel ari-ari segar. Bayi naas itu dikeluarkan paksa dari perut Feng di usia kehamilan tujuh bulan, di tengah harapan yang tengah berkembang.
Kepedihan wanita 23 tahun itu tersebar di internet dalam seminggu terakhir, memancing kemarahan jutaan orang di seluruh dunia. Feng adalah satu lagi warga China yang merasakan kejamnya praktik aborsi paksa, demi sebuah kebijakan otoriter bernama "One Child Policy" atau Kebijakan Satu Anak.
Tanggal 30 Mei. Feng ingat betul hari dia diseret dari kediamannya di kota Ankang, provinsi Shanxi, oleh puluhan pria, saat suaminya pergi kerja. Kesalahannya cuma satu: hamil anak kedua. Diseret ke rumah sakit, Feng dipaksa aborsi.
"Jumlahnya banyak, lebih dari 20 orang. Mereka mendatangi rumah saya lalu menangkap saya, dan memaksa saya melakukan aborsi di rumah sakit," kata Feng, diberitakan Daily Mail, Kamis, 14 Juni 2012.
Usahanya untuk melawan malah membuatnya dipukuli. Telah memiliki putri berusia enam tahun, Feng harus membayar denda sebesar 40 ribu yuan atau setara Rp59,3 juta untuk diperbolehkan melahirkan anaknya yang kedua.
Tidak mampu, Feng masa bodo. Alhasil, dia berada di rumah sakit, disuntik cairan, yang belakangan diketahui adalah Lifannuo, untuk mematikan kandungan di dalam rahim.
Menuntut keadilan, Feng membongkar kisahnya di dunia maya. Foto tertanggal 2 Juni 2012 tersebut setidaknya menjadi bukti kuat betapa kerasnya China menerapkan kebijakan mereka. Akibat desakan rakyat dunia dan rakyatnya sendiri, China akhirnya melakukan penyelidikan kasus Feng. Tiga orang ditahan, dan pemerintah komunis minta maaf.
Feng bukanlah korban satu-satunya kebijakan satu anak China yang telah diterapkan sejak zaman Deng Xiaoping memimpin di tahun 1979. Oktober 2010, Xiao Aiying, dari kota Xiamen, provinsi Siming, diaborsi paksa saat kelahirannya tinggal sebulan lagi. Badan keluarga berencana China turun langsung menyeret, memukuli dan memaki-maki Xiao. Suaminya tak berdaya.
Serupa Feng, Xiao disuntik cairan agar si jabang bayi mati. Wanita 32 tahun ini bahkan tidak pernah tahu rupa dan jenis kelamin anak keduanya tersebut. Tersiar media, pemkot Xiamen membantah melakukan aborsi paksa, melainkan sukarela. Xiao mati-matian membela dirinya.
“Saya telah menelepon polisi, tapi mereka berkata bahwa keluarga berencana bukan masalah mereka. Saya ingin menuntut, namun tidak ada pengacara yang bersedia membantu. Media juga tidak ingin menuliskan masalah kami,” ujar Luo seperti dilansir dari laman news.com.au, Jumat, 22 Oktober 2010.
Seperti Feng, tempatnya mengadu hanyalah di internet. Suami Xiao, Luo, membuat blog dan menceritakan pengalamannya. Kisah ini juga memicu gelombang protes yang kencang, namun terdengar sunyi di telinga pemerintah China.
Aturan Ketat ChinaJumlah populasi China yang mencapai 1,3 miliar jiwa (sensus 2010) membuat pemerintah enggan menghapuskan Kebijakan Satu Anak. Kebijakan yang awalnya sementara pada masa Deng demi menekan angka populasi, kini sepertinya akan abadi.
Menurut hukum China, aborsi seharusnya dilakukan secara sukarela. Praktik aborsi atau sterilisasi alias pemandulan paksa dengan kekerasan telah dilarang sejak tahun 2002. Namun, pada kenyataannya, di beberapa provinsi di timur, praktik ini masih terjadi.
Menurut laporan tahunan Komisi Kongres AS untuk China 2010, 18 dari 31 provinsi di Negeri Tirai Bambu masih melakukan aborsi paksa terhadap pelanggar kebijakan anak tunggal. Dua di antaranya adalah Shanxi dan Siming, tempat tinggal Feng dan Xiao.
Menurut laporan tahunan Kongres AS untuk China tahun 2009, pelaksanaan pemandulan atau aborsi dilakukan oleh mereka yang bukan ahlinya. Akibatnya, banyak terjadi infeksi dan komplikasi berbahaya lainnya.
Untuk program pengendalian kelahiran ini, China merogoh kocek 4,82 miliar yuan atau sekitar Rp6,6 triliun setiap tahunnya. Anggarannya meningkat setiap tahunnya. Sejak tahun 1990, anggaran tahunan ini telah meningkat empat kali lipat.
China mewajibkan pemasangan KB spiral atau IUD (intrauterine device) bagi ibu yang telah melahirkan anak pertama. Setahun tiga kali, China mengecek setiap ibu, apakah spiral masih terpasang dengan benar. Tercatat sekitar 900 juta orang, atau tiga kali lipat populasi Amerika Serikat, diawasi di bawah kebijakan ini.
Terdapat 300.000 pejabat yang dipekerjakan untuk memantau sekaligus mengeksekusi aborsi para pelanggar yang tidak mampu membayar denda. Jumlah ini belum lagi ditambah pekerja serabutannya, yang jumlahnya 92 juta orang. Selain memantau dan mengeksekusi, mereka juga secara rutin memeriksa vagina para warga, memastikan tidak sedang hamil.
Bagi pelanggar, dendanya dimulai dari 5.000 yuan hingga tidak terhingga. Jika tidak mampu membayar denda, maka aborsi dilakukan untuk "langkah perbaikan" atau bujiu cuoshi. Bagi orang kaya, tidak masalah. Tapi bagi warga menengah ke bawah, hamil berarti bunuh diri.
Wilayah Shanxi adalah yang terbanyak menangguk untung dari denda ini. Tercatat dalam tujuh tahun berturut-turut, wilayah ini menyumbang 20 persen dari keseluruhan denda di China. Jumlah aborsi di China mencapai 7 juta jiwa setiap tahunnya sejak tahun 2000. Lonjakan cukup besar terjadi pada 2008, dengan 9,17 juta kasus.
Pelanggaran HAMBerkat kebijakan ini, China mengklaim angka kelahiran pada tahun 1980 turun hingga 2,63 kelahiran per ibu. Sebelumnya pada awal 1970an, angka kelahiran di China mencapai lima kelahiran per ibu.
Pada 2009, China mengatakan jumlah penduduk mereka lebih sedikit tiga hingga empat ratus juta orang, klaim yang menurut sebagian orang direkayasa atau dilebih-lebihkan.
China juga menegaskan bahwa kebijakan ini telah menyumbang banyak pada perkembangan ekonomi yang pesat. Berkurangnya jumlah kelahiran, anggap China, berarti juga mengurangi masalah yang muncul akibat bengkaknya populasi, seperti epidemi penyakit, lingkungan kumuh, buruknya sistem sosial (kesehatan, pendidikan, penegakan hukum) dan masalah limbah.
Namun, klaim ini dibantah oleh sebuah penelitian di China yang dibiayai oleh United Nations Population Fund (UNFPA). Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa pengentasan kemiskinan dipadukan dengan perbaikan perawatan kesehatan dan target keluarga berencana yang jelas, lebih efektif dalam mengurangi kesuburan ketimbang dengan cara pemaksaan.
UNFPA yang dipimpin Amerika Serikat mengatakan bahwa Kebijakan Satu Anak telah mencederai hak-hak asasi manusia, yaitu hak untuk berkeluarga dan menentukan jumlah anak. Pada pemerintahan, George W Bush, tahun 2001, AS mengatakan bahwa China telah melanggar HAM dengan aborsi paksa. Bush mengatakan, hak untuk berkeluarga tercantum dalam Pembukaan Deklarasi HAM Universal.
Deklarasi HAM Universal dideklarasikan pada tahun 1948 dan China adalah salah satu negara penandatangan. Dalam deklarasi itu tercantum perlindungan pada wanita, anak-anak dan keluarga, semuanya telah dilanggar oleh China.
Selain melanggar HAM, China menjilat ludahnya sendiri dengan menerapkan kebijakan tersebut. Berbagai deklarasi dan kesepakatan internasional soal perlindungan keluarga, anak dan wanita, di mana China ikut menandatangani dan meratifikasi, telah ternodai dengan kebijakan ini.
Di antaranya yang dilanggar adalah Population and Family Planning Law tahun 2002, Programme of Action of the Cairo International Conference on Population and Development pada 1994, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women tahun 1980, Convention on the Rights of the Child, International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights.
Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Dalam perayaan 30 tahun Kebijakan Satu Anak pada 2010, Ketua Komisi Nasional untuk Populasi dan Keluarga Berencana China, Li Bin. mengatakan bahwa mereka tetap akan meneruskan program ini.
"Kami akan meneruskan kebijakan keluarga berencana yang sudah ada hingga puluhan tahun ke depan," kata Li Bin, dilansir China Daily.
Feng dan Xiao yang telah merasakan pedihnya ketegasan China terpaksa harus gigit jari, menyaksikan anak-anak mereka dicerabut paksa dari kehidupan.
Ke depannya, tunas-tunas bangsa yang seharusnya akan jadi penerus cita-cita pendiri China akan bertumbangan, disuntik cairan yang membunuhi mereka satu persatu. Bahkan sebelum mereka dilahirkan.
Sumber
http://fokus.vivanews.com/news/read/325756-aborsi--konsekuensi-kelam-kebijakan-china
Ekspresi sedih, marah, jijik dan murka terpancar dari wajah Feng Jianmei yang malang. Betapa tidak, disampingnya dibaringkan si jabang bayi yang telah menjadi mayat; merah, telanjang, masih menempel ari-ari segar. Bayi naas itu dikeluarkan paksa dari perut Feng di usia kehamilan tujuh bulan, di tengah harapan yang tengah berkembang.
Kepedihan wanita 23 tahun itu tersebar di internet dalam seminggu terakhir, memancing kemarahan jutaan orang di seluruh dunia. Feng adalah satu lagi warga China yang merasakan kejamnya praktik aborsi paksa, demi sebuah kebijakan otoriter bernama "One Child Policy" atau Kebijakan Satu Anak.
Tanggal 30 Mei. Feng ingat betul hari dia diseret dari kediamannya di kota Ankang, provinsi Shanxi, oleh puluhan pria, saat suaminya pergi kerja. Kesalahannya cuma satu: hamil anak kedua. Diseret ke rumah sakit, Feng dipaksa aborsi.
"Jumlahnya banyak, lebih dari 20 orang. Mereka mendatangi rumah saya lalu menangkap saya, dan memaksa saya melakukan aborsi di rumah sakit," kata Feng, diberitakan Daily Mail, Kamis, 14 Juni 2012.
Usahanya untuk melawan malah membuatnya dipukuli. Telah memiliki putri berusia enam tahun, Feng harus membayar denda sebesar 40 ribu yuan atau setara Rp59,3 juta untuk diperbolehkan melahirkan anaknya yang kedua.
Tidak mampu, Feng masa bodo. Alhasil, dia berada di rumah sakit, disuntik cairan, yang belakangan diketahui adalah Lifannuo, untuk mematikan kandungan di dalam rahim.
Menuntut keadilan, Feng membongkar kisahnya di dunia maya. Foto tertanggal 2 Juni 2012 tersebut setidaknya menjadi bukti kuat betapa kerasnya China menerapkan kebijakan mereka. Akibat desakan rakyat dunia dan rakyatnya sendiri, China akhirnya melakukan penyelidikan kasus Feng. Tiga orang ditahan, dan pemerintah komunis minta maaf.
Feng bukanlah korban satu-satunya kebijakan satu anak China yang telah diterapkan sejak zaman Deng Xiaoping memimpin di tahun 1979. Oktober 2010, Xiao Aiying, dari kota Xiamen, provinsi Siming, diaborsi paksa saat kelahirannya tinggal sebulan lagi. Badan keluarga berencana China turun langsung menyeret, memukuli dan memaki-maki Xiao. Suaminya tak berdaya.
Serupa Feng, Xiao disuntik cairan agar si jabang bayi mati. Wanita 32 tahun ini bahkan tidak pernah tahu rupa dan jenis kelamin anak keduanya tersebut. Tersiar media, pemkot Xiamen membantah melakukan aborsi paksa, melainkan sukarela. Xiao mati-matian membela dirinya.
“Saya telah menelepon polisi, tapi mereka berkata bahwa keluarga berencana bukan masalah mereka. Saya ingin menuntut, namun tidak ada pengacara yang bersedia membantu. Media juga tidak ingin menuliskan masalah kami,” ujar Luo seperti dilansir dari laman news.com.au, Jumat, 22 Oktober 2010.
Seperti Feng, tempatnya mengadu hanyalah di internet. Suami Xiao, Luo, membuat blog dan menceritakan pengalamannya. Kisah ini juga memicu gelombang protes yang kencang, namun terdengar sunyi di telinga pemerintah China.
Aturan Ketat ChinaJumlah populasi China yang mencapai 1,3 miliar jiwa (sensus 2010) membuat pemerintah enggan menghapuskan Kebijakan Satu Anak. Kebijakan yang awalnya sementara pada masa Deng demi menekan angka populasi, kini sepertinya akan abadi.
Menurut hukum China, aborsi seharusnya dilakukan secara sukarela. Praktik aborsi atau sterilisasi alias pemandulan paksa dengan kekerasan telah dilarang sejak tahun 2002. Namun, pada kenyataannya, di beberapa provinsi di timur, praktik ini masih terjadi.
Menurut laporan tahunan Komisi Kongres AS untuk China 2010, 18 dari 31 provinsi di Negeri Tirai Bambu masih melakukan aborsi paksa terhadap pelanggar kebijakan anak tunggal. Dua di antaranya adalah Shanxi dan Siming, tempat tinggal Feng dan Xiao.
Menurut laporan tahunan Kongres AS untuk China tahun 2009, pelaksanaan pemandulan atau aborsi dilakukan oleh mereka yang bukan ahlinya. Akibatnya, banyak terjadi infeksi dan komplikasi berbahaya lainnya.
Untuk program pengendalian kelahiran ini, China merogoh kocek 4,82 miliar yuan atau sekitar Rp6,6 triliun setiap tahunnya. Anggarannya meningkat setiap tahunnya. Sejak tahun 1990, anggaran tahunan ini telah meningkat empat kali lipat.
China mewajibkan pemasangan KB spiral atau IUD (intrauterine device) bagi ibu yang telah melahirkan anak pertama. Setahun tiga kali, China mengecek setiap ibu, apakah spiral masih terpasang dengan benar. Tercatat sekitar 900 juta orang, atau tiga kali lipat populasi Amerika Serikat, diawasi di bawah kebijakan ini.
Terdapat 300.000 pejabat yang dipekerjakan untuk memantau sekaligus mengeksekusi aborsi para pelanggar yang tidak mampu membayar denda. Jumlah ini belum lagi ditambah pekerja serabutannya, yang jumlahnya 92 juta orang. Selain memantau dan mengeksekusi, mereka juga secara rutin memeriksa vagina para warga, memastikan tidak sedang hamil.
Bagi pelanggar, dendanya dimulai dari 5.000 yuan hingga tidak terhingga. Jika tidak mampu membayar denda, maka aborsi dilakukan untuk "langkah perbaikan" atau bujiu cuoshi. Bagi orang kaya, tidak masalah. Tapi bagi warga menengah ke bawah, hamil berarti bunuh diri.
Wilayah Shanxi adalah yang terbanyak menangguk untung dari denda ini. Tercatat dalam tujuh tahun berturut-turut, wilayah ini menyumbang 20 persen dari keseluruhan denda di China. Jumlah aborsi di China mencapai 7 juta jiwa setiap tahunnya sejak tahun 2000. Lonjakan cukup besar terjadi pada 2008, dengan 9,17 juta kasus.
Pelanggaran HAMBerkat kebijakan ini, China mengklaim angka kelahiran pada tahun 1980 turun hingga 2,63 kelahiran per ibu. Sebelumnya pada awal 1970an, angka kelahiran di China mencapai lima kelahiran per ibu.
Pada 2009, China mengatakan jumlah penduduk mereka lebih sedikit tiga hingga empat ratus juta orang, klaim yang menurut sebagian orang direkayasa atau dilebih-lebihkan.
China juga menegaskan bahwa kebijakan ini telah menyumbang banyak pada perkembangan ekonomi yang pesat. Berkurangnya jumlah kelahiran, anggap China, berarti juga mengurangi masalah yang muncul akibat bengkaknya populasi, seperti epidemi penyakit, lingkungan kumuh, buruknya sistem sosial (kesehatan, pendidikan, penegakan hukum) dan masalah limbah.
Namun, klaim ini dibantah oleh sebuah penelitian di China yang dibiayai oleh United Nations Population Fund (UNFPA). Dalam penelitian tersebut dikatakan bahwa pengentasan kemiskinan dipadukan dengan perbaikan perawatan kesehatan dan target keluarga berencana yang jelas, lebih efektif dalam mengurangi kesuburan ketimbang dengan cara pemaksaan.
UNFPA yang dipimpin Amerika Serikat mengatakan bahwa Kebijakan Satu Anak telah mencederai hak-hak asasi manusia, yaitu hak untuk berkeluarga dan menentukan jumlah anak. Pada pemerintahan, George W Bush, tahun 2001, AS mengatakan bahwa China telah melanggar HAM dengan aborsi paksa. Bush mengatakan, hak untuk berkeluarga tercantum dalam Pembukaan Deklarasi HAM Universal.
Deklarasi HAM Universal dideklarasikan pada tahun 1948 dan China adalah salah satu negara penandatangan. Dalam deklarasi itu tercantum perlindungan pada wanita, anak-anak dan keluarga, semuanya telah dilanggar oleh China.
Selain melanggar HAM, China menjilat ludahnya sendiri dengan menerapkan kebijakan tersebut. Berbagai deklarasi dan kesepakatan internasional soal perlindungan keluarga, anak dan wanita, di mana China ikut menandatangani dan meratifikasi, telah ternodai dengan kebijakan ini.
Di antaranya yang dilanggar adalah Population and Family Planning Law tahun 2002, Programme of Action of the Cairo International Conference on Population and Development pada 1994, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women tahun 1980, Convention on the Rights of the Child, International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights.
Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Dalam perayaan 30 tahun Kebijakan Satu Anak pada 2010, Ketua Komisi Nasional untuk Populasi dan Keluarga Berencana China, Li Bin. mengatakan bahwa mereka tetap akan meneruskan program ini.
"Kami akan meneruskan kebijakan keluarga berencana yang sudah ada hingga puluhan tahun ke depan," kata Li Bin, dilansir China Daily.
Feng dan Xiao yang telah merasakan pedihnya ketegasan China terpaksa harus gigit jari, menyaksikan anak-anak mereka dicerabut paksa dari kehidupan.
Ke depannya, tunas-tunas bangsa yang seharusnya akan jadi penerus cita-cita pendiri China akan bertumbangan, disuntik cairan yang membunuhi mereka satu persatu. Bahkan sebelum mereka dilahirkan.
Sumber
http://fokus.vivanews.com/news/read/325756-aborsi--konsekuensi-kelam-kebijakan-china